Sangiran adalah sebuah situs arkeologi. Secara
geografis situs Sangiran terlatak antara kabupaten Sragen dan kabupaten
Karanganyar di Jawa Tengah. Area ini memilikiluas 48 km2 15km2 sebelah
utara Surakarta di lembah sungai Bengawan Solo dan terletak di kaki gunung
Lawu.
Sejarah Penemuan dan Pengakuan
Pada1936-1941seorang ilmuan
antropologi dari Jerman Gustav Heinrich Ralph von Koenigswal dmulai melakukan
penelitan terhadap situs Sangiran tersebut. Setelah dilakukan penelitaian
berikutnya, ditemukan 50 fosil lebih di antaranya Pithecanthropus erectus (Manusia Jawa), Meganthropus palaeo javanicus.
Selain itu juga ditemukan fosil hewan seperti badak, tanduk kerbau, gading
gajah, tanduk rusa dan lain-lain. Secara keseluruhan diperkirakan umur fosil
yang ditemukan tersebut berusia 1 sampai 1,5 juta tahun dan diperkirakan juga
umur fosil sudah terkubur sejak2 juta tahun yang lalu. Dari 50 fosil yang
ditemukan tersebut sudah mewakili 50% fosil yang ada di dunia.
Sebelum kemunculan Koenigswald, pada
awal 1930-an, masyarakat di sana hanya mengenal fosil-fosil yang banyak
terdapat di lingkungan alam sekitar mereka sebagai balung buto alias tulang-tulang raksasa.
Ilmuwan asal Jerman itu telah memberi pemahaman baru kepada masyarakat Sangiran
terkait keberadaan fosil dan artefak purba.
Selain itu, pemahaman mereka terkait balung buto juga berkaitan
dengan tradisi lisan mengenai perang besar yang pernah terjadi di kawasan
perbukitan Sangiran, ribuan tahun silam. Dalam pertempuran itu banyak raksasa
yang gugur dan terkubur di perbukitan Sangiran, sebagaimana “dibuktikan” lewat
potongan-potongan tulang-belulang besar yang mereka namakan balung buto. Para tetua
kampung yang berusia di atas 60 tahun masih ada yang mengenal mitos tentang
asal usul balung buto tersebut. Bahkan tak sedikit di antara mereka yang masih
percaya akan kebenarannya.
Sebelum kedatangan Koenigswald, balung buto dianggap
memiliki kekuatan magis. Selain berfungsi sebagai sarana penyembuhan berbagai
penyakit, pelindung diri atau sebagai jimat, nilai magis balung buto juga dipercaya
dapat membantu ibu-ibu yang susah melahirkan. Kerena itu, tidak heran bila pada
kurun waktu sebelum 1930-an, balung
butoyang banyak banyak bermunculan di berbagai tempat—di tepi
sungai dan di lereng-lereng perbukitan—jarang diganggu oleh penduduk setempat.
Koenigswald mengubah pandangan itu.
Luasnya cakupan wilayah sirus Sangiran, dengan kondisi alam yang tandus-gersang
dan bebukit-bukit, memang tidak memungkinkan peneliti asing itu bekerja
sendiri. Dalam upaya untuk mengumpulkan fosil, Koenigswald minta bantuan
penduduk.
Sebagai imbalan atas keterlibatan
penduduk, Koenigswald menerapkan sistem
upah berupa uang kepada penduduk yang
menemukannya. Besaran hadiah cukup beragam, bergantung pada jenis fosil dan
kelangkaannya. Masyarakat pun mulai sadar, ternyata benda yang dulu mereka
sebut balung buto
memiliki nilai tukar yang cukup menjanjikan.
Setelah ituistilah balung buto perlahan
lenyap digantikan fosil sebagai nama baru, pengertian dan nilainya pun berhasil
diinternalisasikan oleh Koenigswald. Sejak itu pula, masyarakat Sangiran
mengenal konsep pemaknaan baru terkait keberadaan fosil alias balung buto, yang semula
dikaitkan dengan keyakinan sebagai mitos yang bernilai magis menjadi semacam
komoditi baru yang hanya bernilai ekonomis.
Pada tahun 1977 situs Sangiran
dideklarasikan oleh Mentri Pendidikan dan Kebudayaan dan padatahun 1996
terdaftar dalam situs warisan dunia oleh UNESCO.
Masih terletak di wiliyah Sangiran
terdapat museum Sangiran, di museum tu terdapat koleksi13.086 koleksi fosil manusia
purba dan merupakan situsmanusia purba berdiri tegak yang terlengkap di Asia.
Selain itu juga dapat ditemukan fosil hewan bertulang belakang, fosil binatang
air, batuan, fosil tumbuhan laut serta alat-alat batu sekitar 2 juta tahun yang
lalu hingga 200.000 tahun yang lalu, yaitu dari kala Pliosen akhir hingga akhir
Pleistosen tengah.http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/820/%5C
Posting Komentar