Refleksi ini dicantumkan untuk kita agar kita lebih menghargai alam, sebelum terlambat

Bagi mereka yang menetap di wilayah sulit air di Jakarta, sumur menjadi gantungan harapan akan pemenuhan kebutuhan air sehari-hari. Akan tetapi, air sumur yang diambil saat ini sudah tidak lagi sehat. Asin, bau dan keruh adalah hal biasa.

Dari tahun ke tahun, sumur juga harus digali semakin dalam. Meski begitu, di tengah keterpaksaan, mereka tetap berjuang mendapatkan tetes-tetes air yang begitu berharga.

Di Kecamatan Grogol Petamburan, Jakarta Barat, misalnya, warga telah bertahun-tahun kesulitan pasokan air bersih. Sebagian besar warga sebenarnya sudah berlangganan air perpipaan. Namun, debit air Perusahaan Air Minum (PAM) itu terus menurun, bahkan alirannya kadang-kadang mati sama sekali.

Felicidad atau biasa disapa Feli (72), warga RT 009 RW 001, Kelurahan Tanjung Duren Selatan, harus menggali ulang sumur artesis di rumahnya yang kering, Awalnya, sumur milik keluarga Feli sedalam 30 meter. Kini ia harus menambah lagi kedalamannya menjadi 60-80 meter.

Selama musim kemarau, debit air sumur yang sehari-hari digunakan untuk mandi, cuci, kakus dan memasak itu terus menyusut.

“Hampir setiap tahun, sumur harus digali ulang karena kering,” ujar Feli, pekan lalu. Untuk membayar jasa tukang gali sumur itu, Feli harus merogoh Rp 5 juta-Rp 6 juta untuk biaya jasa kuli dan pipa air.

Rumah Feli pun berada di permukiman padat penduduk. Kemungkinan besar jarak antara septic tank dan sumur tidak memenuhi standar minimal, yaitu berjarak 10 meter.

Sejak tahun 1982, Felid an tiga anggota keluarga lain sangat tergantung dengan air sumur. Ia pernah memasang air perpipaan dari PAM, namun pasokan air dari PD PAM Jaya itu tak pernah lancar. Bahkan, sudah lebih dari satu tahun terakhir aliran air PAM mati total.

Feli menggunakan air tanah untuk memasak meski ia tidak tahu bagaimana kualitas air tanah di rumahnya. Sebelum diolah, Feli menyaring air tanah itu dengan alat pemurni (purifier) khusus. Setelah disaring, air baru digunakan untuk memasak. “Alat itu kami berli untuk membunuh bakteri. Selama ini aman-aman saja untuk memasak,” ungkapnya.

Sementara untuk minum, ia masih mengandalkan air isi ulang kemasan. Dalam satu bulan, ia menghabiskan tiga galon air berukuran 19 liter.

Warga lain, Sum Rahmawati (58) juga mengungkapkan hal senada. Warga kembali memanfaatkan air tanah karena layanan air perpipaan tak lancar dan sering terjadi gangguan.

Terkadang, air perpipaanyang mengalir di rumahnya kotor. Akhirnya ia kembali menggali sumur dengan kedalaman lebih dari 40 meter. Namun, untuk keperluan memasak ia membeli air pikulan Rp 20.000 per hari.

Bersinih (53), warga Ancol, Pademangan, Jakarta Utara, acap kali menggunakan air tanah setiap pasokan air perpipaan bermasalah, terutama saat musim kemarau tiba.

Meski air sumur yang ia ambil sudah tak jernih lagi, terasa asin dan berbau, ibu lima anak ini tetap mengambil air sumur di rumahnya untuk kebutuhan sehari-hari. “Namun, itu pun Cuma untuk buang air kecil atau besar. Kalau untuk mandi, enggak berani, apalagi dipakai masak,” lanjutnya.

Itu sebabnya, saat air perpipaan tak mengalir, dia mengeluarkan biaya lebih untuk membeli air guna kebutuhan minum dan masak. Lebih kurang, 5-10 jerigen air harus dibeli. Untuk menghemat, dia menyuruh anak-anaknya mandi di kamar mandi umum dilingkungannya.

Sudah tidak aman

Nila Aedhianie dari Amrta Institute for Water Literacy, pekan lalu, mengungkapkan, air tanah yang digunakan masyarakat, khususnya masyarakat bawah, saat ini sudah tidak aman. Konsumsi air itu tidak hanya berdampak buruk pada kesehatan, tetapi juga berpengaruh pada kualitas kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.

Warga yang terkena penyakit, ucap Nila, harus menyisihkan uang. Dana yang seharusnya bisa digunakan untuk kebutuhan lain, digunakan untuk biaya pengobatan. Akhirnya, ada bagian kebutuhan yang tak terpenuhi. Warga yang sakit juga harus kehilangan waktu untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan.

“Dampak ini sangat terasa pada masyarakat bawah yang sebagian besar menggunakan air tanah untuk memenuhi kebutuhan air,” katanya. Menurut dia, bahkan untuk pelanggan yang sudah ada saja, dua operator air perpipaan di Jakarta saat ini belum mampu menjamin pasokan air selalu mengalir.

Menurut catatan lembaganya, tercatat sedikitnya 40.000 keluhan matinya air perpipaan sepanjang 2013. Persoalan ini serius karena air bersih menjadi sangat terbatas.

_________
 Credit:
  • (Saiful Rijal Yunus/Dian Dewi Purnamasari/Harian Kompas)
  • nationalgeographic

Posting Komentar

 
Top