A. Helmy Faishal Zaini
Menteri Negara Pembagunan Daerah Tertinggal

Di banyak negara, fenomena kesenjangan perkembangan antara wilayah selalu ada sehingga ada wilayah-wilayah yang sudah maju dan berkembang dan ada wilayah- wilayah yang masih kurang berkembang dan tertinggal. Untuk mengatasi kesenjangan itu. setiap negara mencoba melakukan tindakan intervensi untuk mengurangi tingkat kesenjangan antara wilayah tersebut agar.
Di Indonesia, kesenjangan antar wilayah itu terjadi akibat kebijakan pembangunan yang bersifat sentralistik. Dengan kebijakan pembangunan yang sentralistik ini berdampak pada disparitas dan ketidakmerataan pembangunan antara satu kawasan dengan kawasan/daerah lainnya.

Masalah krusial dalam pengembangan wilayah adalah terkonsentrasi kegiatan ekonomi di pulau Jawa dan wilayah tertentu di luar Jawa, ketidakmerataan akses masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya wilayah, tingginya tingkat kemiskinan di pedesaan dan masih besarnya kesenjangan perkembangan antar wilayah dan antara desa dan kota.
Salah satu faktor terjadi kesenjangan antara desa dan kota karena pembangunan ekonomi sebelumnya cenderung bias kota (urban bias). Akibat pembangunan yang bias perkotaan itu maka sektor pertanian, yang identik dengan ekonomi perdesaan, terus merosotnya sumbangannya terhadap produk domestik bruto (PDB). Dibandingkan dengan pertumbuhan sektor industri dan jasa, yang identik dengan ekonomi perkotaan, sektor pertanian terus mengalami ketertinggalan (A. Effendy Choirie, 2009).


Mengubah Cara Pandang

Kecenderungan stigma yang melekat pada masyarakat pedesaan selalu identikan dengan perilaku dan sikap yang diangap kolot dan tradisional, yang dilawankan dengan sikap dan perilaku orang kota yang maju dan modern. Terjadinya keterbelakangan sosial masyarakat desa dalam pembangunan dinisbatkan karena sulitnya masyarakat desa menerima budaya modernisasi, sulit untuk menerima teknologi baru, malas, dan tidak mempunyai motivasi yang kuat, merasa cukup puas dengan pemenuhan kebutuhan subsisten (kebutuhan pokok yang paling dasar), dan budaya shared poverty (berbagi kemiskinan bersama) (Bambang Prakoso, 2008) Cara pandang seperti itu, saya kira saatnya harus dirubah secar total. Karena perilaku dan sikap yang dinisbatkan ke masyarakat pedesaan yang cenderung negatif itu tidak seluruhnya benar secara empiris. Faktor-faktor kemiskinan yang terjadi di masyarakat pedesaan cenderung lebih bersifat struktural dibandingkan bersifat kultural. Mereka miskin bukan karena mereka malas dan sulit menerima perubahan tetapi karena faktor struktur yang ada yang kurang berpihak pada masyarakat pedesaan.

Secara empiris, daerah-daerah yang tertinggal umumnya memiliki kondisi kualitas sumberdaya yang relarif rendah, potensi sumberdaya alam yang terbatas atau belum dimanfaatkan secara optimal, aliran investasi yang rendah, ketersediaan infrastruktur yang kurang memadai, dan kapasitas lembaga sosial-ekonomi yang juga kurang memadai. Hal ini kemudian menyebabkan produksi kurang berkembang, kesempatan kerja rendah yang pada akhirnya pendapatan masyarakat juga menjadi rendah.

Pembangunan Berbasis Desa

Dalam rangka untuk mengatsi kesenjangan antar wilayah dan antara desa dan kota, Pemerintah menyadari perlu ada perubahan paradigma dalam melihat desa. Sehubungan dengan itu, dalam upaya untuk mempercepat pengentasan daerah tertinggal, Kementerian Negera Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) melakukan perubahan paradigma pembangunan daerah tertinggal yang sebelumnya berbasis pada kawasan menjadi berbasis pada pedesaan (base on village).

Pembangunan yang berbasis pedesaan sangat penting dan perlu untuk memperkuat fondasi perekonimian negara, mempercepat pengentasan kemiskinan dan pengurangan kesenjangan perkembangan antar wilayah. Sebagai solusi bagi perubahan sosial, desa sebagai basis perubahan.

Dalam konteks itu maka sumber-sumber pertumbuhan ekonomi harus digerakkan ke pedesaan sehingga desa menjadi tempat yang menarik sebagai tempat tinggal dan mencari penghidupan. Infrastruktur desa, seperti irigasi, sarana dan prasarana transportasi, listrik, telepon, sarana pendidikan, kesehatan dan sarana- sarana lain yang dibutuhkan, harus bisa disediakan sehingga memungkinkan desa maju dan berkembang.
Sehubungan dengan itu, skala prioritas yang dilakukan KPDT bagi pembangunan daerah yang berbasis pada pengembangan pedesaan (rural based development), antara lain mencakup (1) pengembangan ekonomi lokal; (2) pemberdayaan masyarakat; (3) pembangunan prasarana dan sarana; dan (4) pengembangan kelembagaan.

Untuk itu perlu adanya model intervensi terhadap proses pembangunan pedesaan yang bertumpu pada paradigma pengkotaan pedesaan (rural urbanization) yang bertumpu dapa penegmbangan perkotaan dan pedersaan sebagai kesatuan ekonomi dan kawasan, pengembangan kegiatan pertanian secara modern melalui mekanisasi dan industrialisasi pertanian dan penerapan standar pelayanan minimum yang sama antara desa dan kota.

Dalam upaya intervensi pembanguan pedesaan perlu memperhatikan secara mendalam tentang "anatomi desa” sehingga tidak kontraproduktif dalam membangun desa. Anatomi tersebut mencakup struktur demografi masyarakat, karakteristik sosial- budaya, karakterisktik fisik/geografis, pola kegiatan usaha pertanian, pola keterkaitan ekonomi desa-kota, sektor kelembagaan desa, dan karakteristik kawasan pemukiman. Singkat kata, dalam pembangunan pedesaan harus berlandaskan pada local wisdom.
Seperti yang pernah saya kemukakan, dengan usaha-usaha yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh KPDT tersebut diharapkan akan melahirkan desa pusat pertumbuhan. Dengan model desa seperti ini, bukan saja nantinya akan melahirkan desa-desa yang maju dan sejahtera. Semoga!




______________
)*kemendesa.go.id

Posting Komentar

 
Top